Bicara burung Glatik, maka banyak sekali jenisnya di dunia. Walaupun
di tiap negara berbeda, tetapi ciri khas burung glatik adalah warna
putih di bawah mata, kecuali Glatik Belong warna putih, pastinya
tersamar dengan warnanya. Kakakku sendiri pernah cerita, sewaktu dia
kerja di Rusia, pernah melihat burung glatik yang berwarna hijau
metalik atau hijau mengkilap. Pada pengalaman saya, jenis glatik
dibedakan menjadi 2 berdasarkan paruhnya, yang satu berparuh tebal dan
satunya lagi berparuh tipis. Yang berparuh tebal biasa kita kenal
dengan nama Glatik Belong atau Pipit Belong. Harganya lumayan mahal,
karena termasuk burung yang warnanya indah dan mulai langka. Yang
pernah saya jumpai adalah warna putih dan warna kelabu berpadu hitam
dan merah muda atau seperti tercetak pada kemasan kopi yang biasa kita
jumpai di toko-toko. Sedangkan yang paruh kecil adalah Glatik Watu
atau ada yang bilang Glatik Selo. Selo memiliki arti yang sama dalam
bahasa jawa, yaitu Watu (Batu = bahasa indonesia,red)
Pada cerita kali ini, saya ingin bercerita tentang keunikan burung
Glatik Watu dan sebelum membahas keunikan yang saya maksud, saya akan
cerita pengalaman saya memelihara burung tersebut, dimana ada juga
keunikan lainnya.Sekitar 7 tahun lalu, saat saya masih menjadi buruh pabrik, saya
pernah menyempatkan memelihara burung Glatik Watu. Burung tersebut
saya beli di pasar burung Krian, kalau tidak salah seharga Rp.7.500,-
melalui tawar menawar yang agak lama. Maklum, biasanya dihargai sampai
Rp.10.000,-. Burung tersebut saya dapat dalam kondisi liar dan saya
pilih yang jantan. Untuk membedakan antara yang jantan dan betina
cukup mudah. Yang jantan memiiki warna hitam yang tajam di bagian
sayap, sedangkan yang betina didominasi warna kelabu. Karena beberapa
tahun sebelumnya, pada pengalaman pertama saya memelihara Glatik Watu,
waktu saya gantungkan di kebun, pernah didatangi 3 ekor Glatik Watu
liar. Yang 2 ekor tampak jenis jantan, sedang yang 1 ekor tampak jenis
betina.
Kembali pada burung Glatik Watu yang saya pelihara di tempat kost,
burung ini sudah begitu jinak atau istilahnya "cumbu" (tidak takut
dengan manusia). Pada awalnya, sudah pasti makan biji-bijian seperti
pakan burung perkutut. Namun saya melatihnya agar makan voor dan
berhasil. Untuk melatih makan voor, silahkan baca artikel MELATIH
BURUNG LIAR MAKAN VOOR. Sebagai suply gizi, saya sediakan ulat
hongkong dan menggunakan ulat hongkong tersebut untuk melatih agar
Glatik Watu milik saya tidak takut dengan manusia, bahkan berani
mematuk. Kadangkala saya goda dengan tangan, burung tersebut
menari-nari sambil berkicau perlahan. Keunikan pertama pada burung ini
adalah betapa disiplin dalam urusan hidup. Misal ketika tepat pukul
17:00, si glatik watu ini langsung beranjak tidur dimana seperti pada
umumnya burung, kepala disembunyikan di balik sayap. Sedangkan pada
pukul 04:00 subuh, selalu mulai bangun dan berkicau dan selalu begitu
setiap hari. Keunikan lainnya adalah, bapak kost pernah cerita, dimana
ada seseorang yang mencoba menjebak burung perkutut. Ketika burung
perkutut hendak masuk perangkap, datanglah burung glatik watu
menyambar perkutut tadi, seakan memberi peringatan bahwa itu adalah
perangkap. Hal tersebut juga pernah saya buktikan ketika burung glatik
saya didatangi burung glatik liar seperti yg saya ceritakan
sebelumnya. Di sekitar sangkar sudah saya pasangi perekat untuk
menjebak yg liar tadi. Namun tak satupun yang hinggap, alhasil tak
satupun berhasil saya tangkap.
Hanya saja, kicauan burung glatik watu tidak cocok buat masteran.
Namun cukup menyenangkan untuk sekedar memiliki. Karena sejak memiliki
burung glatik tersebut, saya seakan punya asisten untuk membangunkan
saya tepat pukul 4 subuh. Sayangnya, karena kecerobohan tetangga,
burung glatik milik saya mati karena overdosis. Dimana tidak pernah
sekalipun saya memberikan pakan jengkerik, tetapi tetangga saya tadi
langsung memberikan 3 ekor jengkerik. Akibatnya burung tersebut tidak
kuat dan esoknya mati.
Demikian celoteh kali ini, semoga bisa menghibur anda. Terutama bagi
mereka yang ingin memelihara glatik watu, semoga menambah wawasan!
di tiap negara berbeda, tetapi ciri khas burung glatik adalah warna
putih di bawah mata, kecuali Glatik Belong warna putih, pastinya
tersamar dengan warnanya. Kakakku sendiri pernah cerita, sewaktu dia
kerja di Rusia, pernah melihat burung glatik yang berwarna hijau
metalik atau hijau mengkilap. Pada pengalaman saya, jenis glatik
dibedakan menjadi 2 berdasarkan paruhnya, yang satu berparuh tebal dan
satunya lagi berparuh tipis. Yang berparuh tebal biasa kita kenal
dengan nama Glatik Belong atau Pipit Belong. Harganya lumayan mahal,
karena termasuk burung yang warnanya indah dan mulai langka. Yang
pernah saya jumpai adalah warna putih dan warna kelabu berpadu hitam
dan merah muda atau seperti tercetak pada kemasan kopi yang biasa kita
jumpai di toko-toko. Sedangkan yang paruh kecil adalah Glatik Watu
atau ada yang bilang Glatik Selo. Selo memiliki arti yang sama dalam
bahasa jawa, yaitu Watu (Batu = bahasa indonesia,red)
Pada cerita kali ini, saya ingin bercerita tentang keunikan burung
Glatik Watu dan sebelum membahas keunikan yang saya maksud, saya akan
cerita pengalaman saya memelihara burung tersebut, dimana ada juga
keunikan lainnya.Sekitar 7 tahun lalu, saat saya masih menjadi buruh pabrik, saya
pernah menyempatkan memelihara burung Glatik Watu. Burung tersebut
saya beli di pasar burung Krian, kalau tidak salah seharga Rp.7.500,-
melalui tawar menawar yang agak lama. Maklum, biasanya dihargai sampai
Rp.10.000,-. Burung tersebut saya dapat dalam kondisi liar dan saya
pilih yang jantan. Untuk membedakan antara yang jantan dan betina
cukup mudah. Yang jantan memiiki warna hitam yang tajam di bagian
sayap, sedangkan yang betina didominasi warna kelabu. Karena beberapa
tahun sebelumnya, pada pengalaman pertama saya memelihara Glatik Watu,
waktu saya gantungkan di kebun, pernah didatangi 3 ekor Glatik Watu
liar. Yang 2 ekor tampak jenis jantan, sedang yang 1 ekor tampak jenis
betina.
Kembali pada burung Glatik Watu yang saya pelihara di tempat kost,
burung ini sudah begitu jinak atau istilahnya "cumbu" (tidak takut
dengan manusia). Pada awalnya, sudah pasti makan biji-bijian seperti
pakan burung perkutut. Namun saya melatihnya agar makan voor dan
berhasil. Untuk melatih makan voor, silahkan baca artikel MELATIH
BURUNG LIAR MAKAN VOOR. Sebagai suply gizi, saya sediakan ulat
hongkong dan menggunakan ulat hongkong tersebut untuk melatih agar
Glatik Watu milik saya tidak takut dengan manusia, bahkan berani
mematuk. Kadangkala saya goda dengan tangan, burung tersebut
menari-nari sambil berkicau perlahan. Keunikan pertama pada burung ini
adalah betapa disiplin dalam urusan hidup. Misal ketika tepat pukul
17:00, si glatik watu ini langsung beranjak tidur dimana seperti pada
umumnya burung, kepala disembunyikan di balik sayap. Sedangkan pada
pukul 04:00 subuh, selalu mulai bangun dan berkicau dan selalu begitu
setiap hari. Keunikan lainnya adalah, bapak kost pernah cerita, dimana
ada seseorang yang mencoba menjebak burung perkutut. Ketika burung
perkutut hendak masuk perangkap, datanglah burung glatik watu
menyambar perkutut tadi, seakan memberi peringatan bahwa itu adalah
perangkap. Hal tersebut juga pernah saya buktikan ketika burung glatik
saya didatangi burung glatik liar seperti yg saya ceritakan
sebelumnya. Di sekitar sangkar sudah saya pasangi perekat untuk
menjebak yg liar tadi. Namun tak satupun yang hinggap, alhasil tak
satupun berhasil saya tangkap.
Hanya saja, kicauan burung glatik watu tidak cocok buat masteran.
Namun cukup menyenangkan untuk sekedar memiliki. Karena sejak memiliki
burung glatik tersebut, saya seakan punya asisten untuk membangunkan
saya tepat pukul 4 subuh. Sayangnya, karena kecerobohan tetangga,
burung glatik milik saya mati karena overdosis. Dimana tidak pernah
sekalipun saya memberikan pakan jengkerik, tetapi tetangga saya tadi
langsung memberikan 3 ekor jengkerik. Akibatnya burung tersebut tidak
kuat dan esoknya mati.
Demikian celoteh kali ini, semoga bisa menghibur anda. Terutama bagi
mereka yang ingin memelihara glatik watu, semoga menambah wawasan!
0 komentar:
Posting Komentar